Kronologi Budidaya Tambak Keluarga Bulukumba di Konawe

Sulawesi Tenggara, 1detik.asia - 

Perjalanan atas nama Orang Bulukumba datang di Konawe pada masa lalu, itu dilakukan secara berkelompok ataupun perorangan dan bertahap, sejak 1985 yang merupakan perjalanan gelombang awal mereka kala itu.


Adapun target lokasi tujuannya adalah lahan mangrove yang membujur di sepanjang pesisir pantai dari desa Muara Sampara hingga  desa Lalimbue jaya yang misi utamanya adalah untuk datang mencetak empang sebagai tempat budidaya ikan bandeng, udang dan kepiting.


Namun sebenarnya sebelum tiba di Konawe mereka tidak serta-merta berangkat dari Bulukumba, melainkan rombongan pertama mereka ini justru bertolak dari Tembe  desa Hukaea kecamatan Rumbia kabupaten Buton yang saat itu sebelum pemekaran menjadi kabupaten Bombana. Disinilah tempat awal mereka kunjungi dan tempati pada masa itu, setelah mereka tinggalkan daerah Bulukumba sekitar tahun 1981. Ketika itu di desa Hukaea ini secara relatif sempat berdomisili selama kurang lebih 5 tahun.


Sebab pertimbangan satu dan lain hal, akhirnya lebih dari separuh mereka dalam kelompoknya berniat untuk  pindah di Konawe yang pada saat itu masih dalam wilayah kekuasaan pemerintah Kabupaten Kendari.


Adapun tempat tiba mereka pada masa itu adalah di sekitar pemukiman warga Lapulung yang terletak di Tanjung Kelapa desa Muara Sampara dan di sekitar desa Lalimbue jaya kecamatan Sampara kabupaten Kendari. Disinilah mereka masing-masing mendirikan rumah-rumah hunian yang sangat sederhana yang terbentuk dari ramuan batang-batang kayu bulat sebagai rangka dan pohon rumbia sebagai lantai serta anyaman daun nipa sebagai atap dan dinding yang kesemuanya diperoleh langsung bahan bakunya dari alam liar.


Kemudian dalam kurung waktu beberapa bulan dan tahun berikutnya, secara berkesinambungan perlahan masih terus mereka berdatangan oleh rekan atau keluarga lainnya dari Tembe desa Hukaea dengan modal seadanya, namun dengan semangatnya yang senantiasa membara sehingga masing-masing diantara mereka mampu berupaya mecari dan menempati lahan-lahan yang telah mereka peroleh dan terima langsung dari pemerintah, dalam hal ini kepala desa setempat, sehingga bebas dari gugatan masyarakat pribumi karena telah atas sepengetahuan pemerintah desa yang bersangkutan.


Tak cukup sampai disini, hal itu penyebarannya berlangsung dalam mengembangkan wilayah lokasi tambak mereka hingga ke batas-batas desa tetangga lainnya, namun dengan cara perolehan lahan melalui sistem ganti rugi kepada masing-masing pemilik yang bersangkutan.


Kemudian tak luput pula pada masa itu, dimana suasana sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan yang begitu lumayan kompak dan sangat bisa di andalkan yang dibuktikan melalui berbagai kerjasama yang baik dalam kehidupan keseharian mereka. Oleh karena itu, merekapun bisa hidup lebih bersemangat dan saling berdampingan antara satu sama lain, tanpa ada rasa dan sikap  yang terkesan diskriminasi baik antar sesama keluarga Bulukumba maupun antara terhadap saudara keluarga pribumi. Maka dengan demikian mereka dapat saling menikmati suasana damai yang tercipta diantara mereka dan sukses membangun usahanya dibidang tani tambak/empang, guna budidaya udang dan ikan yang bibitnya di peroleh melalui penangkapan langsung dari pinggir pantai yang dekat dari Rumah-rumah mereka sendiri dengan menggunakan alat penangkap benur secara konvensional.


Dengan berjalannya usaha mereka hingga telah beberapa kali memanen hasilnya yang meskipun begitu, kondisi ekonominya belum bisa dikategorikan sukses, namun setidaknya sebagian telah dapat menunjang nafkah keluarga dari hasil usaha mereka, karena adanya hasil alami berupa udang Pink dan Kepiting yang dapat diperoleh setiap tiba masa panen yang berlangsung dalam beberapa malam pada musimnya. Kemudian hasil tersebut di jual kepada para penampung/pedagang yang siap mengantar dan menjualnya kembali di pasar Mandongan Kota Kendari.


Tapi seiring waktu dan keadaan ketika itu pada tahun 1987 dimana rombongan atas nama orang Bulukumba tersebut, di hadapkan atau dibenturkan pada sebuah persoalan terkait penegakan aturan oleh Pemerintah wilayah Kecamatan Sampara saat itu. Dimana masyarakat tersebut akan di tertibkan dengan dimintai Surat Keterangan Pindah Penduduk, sedangkan mereka seluruhnya tak satu orang pun yang mengantonginya, sehingga salah seorang wakil kepala rombongan yakni atas nama Muhammad Sahid berinisiatif mengambil langkah negosiasi dan memohon kepada pemerintah wilayah setempat yang terkait, dalam hal ini MUSPIKA yang terdiri dari Camat, Kapolsek dan Koramil agar diberi waktu dan kesempatan pengurusan Surat Pindah dari desa asal setempat.


Alhasil permohonannya dikabulkan untuk melaksanakan tugas penting dalam mengupayakan surat keterangan pindah penduduk, sebagai  pemenuhan syarat utama dan ketentuan yang sesuai dengan aturan yang berlaku untuk diterimanya rombongan orang Bulukumba pada masa itu.


Tanpa melewatkan waktu panjang maka ke esokan harinya Saudara SAHID segera melakukan perjalanan menuju Tembe untuk menghadap langsung ke Kepala Desa yang bersangkutan, yakni atas nama Fattah Ibrahim demi untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah (SKP). Dan ketika itu usaha yang dilakukan oleh Saudara Sahid tidaklah sia-sia karena ternyata bisa membuahkan hasil dengan memperoleh Surat Keterangan Pindah tersebut, walaupun beliau (Fattah Ibrahim) sempat sesalkan atas keteledoran rombongan mereka yang lalai akan prosedur yang ada, namun dengan tanggap saudara Sahid mampu membuat suasana beliau kembali rileks yang bahwasanya ia menghadap dengan kesan bukanlah sebagai masyarakat dengan pemerintah, namun sebagai antara anak dengan orang tua.


Adapun bunyi tulisan nasehat (dalam bentuk surat) yang juga untuk disampaikan dan di perdengarkan  pula sebagai sambung rasa beliau kepada seluruh rombongan orang Bulukumba yang telah ada di Konawe/Batugong saat itu adalah sebagai berikut:

"Sangat pribadi."


Tembe, 14 April 1987.

Pro

Yth kecintaan para warga dan keluarga besar masyarakat Desa hukaea di mana saja berada.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pertama-tama disampaikan bahwa sewaktu tertulis suratku ini kami sekeluarga bersama warga dan keluarga besar masyarakat Desa Hukaea di tembe masih tetap dalam keadaan sehat-sehat walafiat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga warga dan keluarga masyarakat Desa Hukaea di Batu Gong demikian pula adanya bahkan kami harapkan dan mendoakan agar melebihinya Insya Allah.


Selanjutnya disampaikan pula bahwa mengenai kepindahannya dari Desa Hukaea ke Batu Gong di sini tidak ada halangannya namun perlu diketahui, bahwa setiap kepindahan itu, sebaiknya melalui prosedur, maksud kami laporkanlah lebih dahulu kepada pemerintah Desa yang bersangkutan agar supaya tidak tersentak-sentak keadaannya sebagaimana apa yang dialaminya sekarang ini.


Untunglah saja Saudara Sahid datang ke Desa Hukaea yang merupakan utusan yang dapat kami percayakan tentang maksud kedatangannya di Desa Hukaea.


Jadi kesimpulannya mudah-mudahan warga masyarakat Desa Hukaea di Batu Gong sana tidaklah akan menanggapi kami keterlaluan, apa yang disampaikan oleh Saudara Sahid berarti itulah yang benar.


Demikianlah sekedar informasi yang dapat kami sampaikan melalui Suratku ini yang sangat pribadi dan mudah-mudahan kita semua sependapat bahwa di mana saja kita berpijak hendaklah pandai-pandai menyesuaikan diri terutama kepada pemerintah yang bersangkutan.


Akhirnya melalui Suratku ini kami sekeluarga bersama seluruh warga dan keluarga besar Golkar se-Desa Hukaea menyampaikan selamat bekerja dan selamat menyambut Hari Pesta Demokrasi Pancasila.


Dengan ucapan wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hormat kami sekeluarga dan keluarga besar Golkar Desa Hukaea.

Fattah Ibrahim

Kepala Desa Hukaea.


Catatan:

Sampai hari ini kami masih berkewajiban memberikan pembinaan kepada masyarakat Desa Hukaea di Batu Gong di mana menurut pencatatan kami dalam buku penduduk adalah sebagai berikut:

- Jumlah KK 16 orang

- Jumlah wajib pilih 35 orang

- Jumlah jiwa 78 orang


Kami tetap bersedia untuk melayaninya apabila selesai Pemilu 1987 ada yang bersedia pindah dari Desa Hukaea ke mana pun saja. Nah begitulah format surat beliau (Fattah Ibrahim) sebagai kepala desa Hukaea kala itu.


Kemudian pada lanjutan periode berikutnya yakni sekitar tahun 1990 dan seterusnya, jumlah populasi keluarga Bulukumba semakin bertambah karena masih tetap terus berlangsungnya menyusul  rombongan  lainnya. Namun kali ini perjalanan keberangkatan mereka beda daripada rombongan yang sebelumnya, yakni sebab mereka ini justru langsung berangkat dari Bulukumba melalui rute perjalanan penyeberangan Bajoe - Kolaka, hingga saat itu  tiba di Konawe dan tiap-tiap dari mereka pula berupaya memperoleh kepemilikan lahan tambak, dengan cara mengganti rugi kepada para pemegang hak (pribumi) yang wilayah lokasinya terhampar mulai dari Lalonggobuno, Pulau Harapan, Kapoiala, Motui, Dunia Baru, Matandahi, Laosu Jaya hingga Morosi dan Tondowatu.


(Murdan)

0 Komentar

KLIK DISINI Untuk MENDAFTAR
Cari Semua Kebutuhanmu Disini!